Drama merupakan salah satu bentuk karya sastra. Dalam drama, penulis ingin menyampaikan pesan melalui akting dan dialog.
Biasanya drama menampilkan sesuatu hal yang biasa terjadi dalam
kehidupan kita sehari-hari. Sehingga para penonton diajak untuk
seolah-olah ikut menyaksikan dan merasakan kehidupan dan kejadian dalam
masyarakat.
Drama
adalah karangan yang menggambarkan kehidupan dan watak manusia dalam bertingkah
laku yang dipentaskan dalam beberapa babak. Seni drama sering disebut seni
teater.
Unsur-unsur
drama
- Tema adalah ide pokok atau gagasan utama sebuah cerita drama
- Alur yaitu jalan cerita dari sebuah pertunjukkan drama mulai babak pertama hingga babak terakhir
- Tokoh drama atau pelaku drama terdiri dari tokoh utama dan tokoh pembantu. Tokoh utama atau peran utama disebut primadona sedangkan peran pembantu disebut figuran
- Watak adalah perilaku yang diperankan oleh tokoh drama. Watak protagonis adalah watak (periku) baik yang diperankan oleh tokoh drama, contohnya : penyabar, kasih sayang, santun, pemberani, pembela yang lemah, baik hati dan sebagainya. Sedangkan watak antagonis adalah watak (perilaku) jahat yang diperankan oleh tokoh drama, contohnya : sifat iri dan dengki, kejam, penindas dan sebagainya
- Latar atau setting adalah gambaran tempat, waktu dan situasi peristiwa dalam cerita drama
- Amanat drama adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada penonton. Amanat drama atau pesan disampaikan melalui peran para tokoh drama.
·
Drama
merupakan salah satu bentuk karya sastra. Dalam drama, penulis ingin
menyampaikan pesan melalui akting dan dialog. Biasanya drama
menampilkan sesuatu hal yang biasa terjadi dalam kehidupan kita
sehari-hari. Sehingga para penonton diajak untuk seolah-olah ikut menyaksikan
dan merasakan kehidupan dan kejadian dalam masyarakat.
·
·
·
Berikut
ini adalah pengertian dan definisi drama:
·
·
#
ERWAN JUHARA
·
Drama
merupakan jenis karya sastra yang dibangun oleh unsur intrinsik, satu kesatuan
karya itu membentuk kesatuan (totalitas)
·
·
#
PRIYONO MANGUNREJO
·
Drama
merupakan salah satu karya sastra yang lebih menonjolkan unsur dialog
·
·
#
A. ISKAK & YUSTINAH
·
Drama
adalah karangan yang berbentuk dialog / percakapan antara para pemainnya
·
·
#
SRI SUTARNI & SUKARDI
·
Drama
merupakan cerita tentang kehidupan manusia yang diperankan diatas panggung atau
dipentaskan
·
·
#
WAHONO & RUSMIYANTO
·
Drama
adalah suatu karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan
menampilkan pertikaian / konflik dan emosi lewat adegan dan dialog
·
·
#
YAKOB SUMARJO & SAINI
·
Drama
adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog - dialog para
tokohnya
·
·
#
TIM MATRIX MEDIA LITERATA
·
Drama
merupakan bentuk kisahan yang menggambarkan kehidupan dan watak manusia melalui
tingkah laku (akting) yang dipentaskan
·
·
#
SENI HANDAYANI & WILDAN
·
Drama
adalah bentuk karangan yang berpijak pada dua cabang kesenian, yakni seni
sastra dan seni pentas sehingga drama dibagi dua, yaitu drama dalam bentuk
naskah tertulis dan drama yang dipentaskan
·
·
#
ANNE CIVARDI
·
Drama
adalah sebuah kisah yang diceritakan lewat kata-kata dan gerakan
Drama
sebagai karya sastra tidak terlepas dari pembicaraan di atas. Dalam drama,
masalah kehidupan dan kemanusiaan yang dikemukakan biasanya tidaklah terlepas
dari aspek-aspek sosial masyarakat dalam hubungan manusia dengan manusia
lainnya. Drama juga menyajikan aspek-aspek perilaku manusia terhadap jenisnya
dalam kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan. Misalnya masalah perasaan
sayang, cinta, benci, dendam, ketulusan, kesetiaan, kesucian, dan lain-lain.
Menurut
Semi (1984:145), "drama hanya menyangkut masalah manusia dan kemanusiaan
semata. Hal itu disebabkan drama dilakonkan oleh manusia. Drama tidak dapat
mempertunjukkan tentang peristiwa kehidupan singa dihutan belantara, tentang
malaikat di sorga, atau kehidupan dibawah permukaan laut".
Karena
drama hanya menyangkut masalah manusia dan kemanusiaan semata, maka drama pun
merupakan alat komunikasi sosial dalam masyarakat. Melalui drama, manusia dapat
menemukan masalah-masalah yang terjadi dilingkungannya kemudian menjadikannya
sebagai bahan pertimbangan, perbandingan, atau pengetahuan untuk berbuat
sesuatu secara lebih baik. Hal ini merupakan salah satu fungsi dan peranan
drama, di samping ada juga masyarakat tertentu yang menganggap drama sebagai
milik sekelompok masyarakat tertentu yang memahami arti suatu karya sastra.
Sebenarnya tidaklah demikian. Karya sastra dalam bentuk apapun hendaknya
dirasakan sebagai milik masyarakat. Ia memerlukan interpretasi dan apresiasi
sehingga nilai-nilai kehidupan yang ada didalamnya dapat dipahami dan
dipedomani.
Konsep
Dasar tentang Drama
Berbicara
masalah drama, kita akan dihadapkan kepada dua pemikiran. Pada satu segi kita
teringat kepada jenis pertunjukan yang mengasyikkan atau menjemukan. Pada segi
lain kita berpikir tentang sebuah naskah yang dikarang atau ditulis dalam
bentuk dialog-dialog (merupakan karya sastra).
Kerangka
pemikiran kita yang seperti ini dapat dijelaskan dalam suatu konsep pikiran
yang jelas dan utuh sehingga kita dapat memahami mana yang dikatakan drama
sebagai pemikiran yang pertama dan mana yang pemikiran kedua. Maksudnya di sini
adalah, kita sanggup membedakan antara kedua pemikiran di atas dan dapat
melihat hubungan antara keduanya.
Menurut
Tarigan (1984:73), ada dua pengertian drama, yaitu: (1) drama sebagai text play
atau reportair, dan (2) drama sebagai theatre atau performance. Hubungan
keduanya sangat erat. Dengan kata lain: setiap lakon atau pertunjukan harus
mempunyai naskah yang akan dipentaskan. Sebaliknya tidaklah otomatis setiap
naskah merupakan teater, sebab ada saja kemungkinan naskah yang seperti itu hanyalah
berfungsi sebagai bahan bacaan saja, bukan untuk pertunjukan. Jadi, ada naskah
yang dapat dipentaskan dan ada yang tidak, misalnya drama "Awal dan
Mira" karya Utuy Tatang Sontani. Drama ini sulit untuk dipentaskan tetapi
enak untuk dibaca (lihat Rosidi, 1982:114).
Memahami
penjelasan diatas, dapat diambil suatu perbedaan nyata dari keduanya. Perbedaan
itu adalah:
- Drama sebagai text-play atau naskah adalah hasil sastra 'milik pribadi', yaitu milik penulis drama tersebut, sedangkan drama sebagai teater adalah seni kolektif.
- Text-play masih memerlukan pembaca soliter (pembaca yang mempunyai perasaan bersatu), sedangkan teater memerlukan penonton kolektif dan penonton ini sangat penting.
- Text-play masih memerlukan penggarapan yang baik dan teliti baru dapat dipanggungkan sebagai teater dan ia menjadi seni kolektif.
- Text-play adalah bacaan, sedangkan teater adalah pertunjukan atau tontonan.
Berdasarkan
hal di atas, antara keduanya harus dibedakan secara tegas, walaupun pada
umumnya penulisan naskah drama itu bertujuan untuk dipentaskan atau dilakonkan.
Teori-teori dari beberapa orang ahlipun memperlihatkan bahwa pembahasan
aspek-aspek drama dalam dua pengertian drama di atas berbeda.
Aspek
yang dibahas atau materi utama pada text-play adalah: a) premis (tema), b)
watak, dan c) plot, sedangkan pada pementasan adalah: a) naskah, b) pelaku, c)
pentas, d) perlengkapan pentas, e) tata busana (pakaian), f) tata rias, g)
cahaya, h) dekorasi, dan i) musik (bandingkan dengan Syam, 1984:17).
Rumusan
tentang perbedaan kedua pemikiran di atas dapat juga dibandingkan dengan
pendapat Martoko (1984:158) yaitu dalam pembatasannya tentang pengertian
pementasan. Ia menyatakan "pementasan itu merupakan sebuah sintesa dan
mengimbau pada beberapa indera sekaligus".
Drama
sebagai Karya Sastra
Berawal
dari pemikiran bahwa sastra adalah usaha untuk memperlihatkan makna kehidupan,
bukan sebuah imitasi (peniruan) tetapi sebuah ciptaan dan kreasi, karena itu
sastra dapat mengantarkan kita kepada pengenalan diri dan kehidupan secara
mendalam sehingga akhirnya kita menemukan norma-norma dan pemikiran yang
terjadi dalam masyarakat.
Beberapa
orang ahli sastra telah membicarakan masalah di atas dalam usaha memberikan
batasan-batasan hal-hal mana yang termasuk ke dalam bentuk ciptasastra. Esten
(1978:11) membedakan empat bentuk ciptasastra yaitu: puisi, cerita rekaan
(fiksi), essei dan kritik, dan drama.
Drama
sebagai satu di antara bentuk ciptasastra mempunyai beberapa kesamaan dengan
bentuk-bentuk yang lain itu. Namun, pada satu segi tetap ada perbedaan yang
nyata. Brahim (1965:55) mengatakan "Sebagai hasil seni sastra, maka drama
pun mempunyai sifat-sifat yang bersamaan dengan cabang-cabang kesusastran yang
lain; puisi dan prosa".
Menurut
beliau ada empat unsur yang membangun penciptaan naskah drama dengan bantuan
penggunaan dialog. Ada pun unsur-unsur tersebut adalah : unsur budi, (intellectual
element), unsur perasaan (emotional element), unsur imajinasi (element
of imagination), dan unsur gaya (the technical element or the element of
composition and style). Penggunaan dialog dalam drama berfungsi untuk
membedakannya dari bentuk ciptasastra lainnya, walaupun ada ciptasastra yang
mengandung dialog. Dalam hal ini, drama adalah merupakan dialog yang mengandung
cerita, sedangkan untuk cerpen atau novel adalah cerita yang mengandung dialog.
Sebagai
karya sastra, Rene Wellek dan Austin Warren dalam Hamidy (1984:9)
mengelompokkan dan menggolongkan drama ke dalam karya sastra imajinatif di
samping fiksi dan puisi. Drama dipandang sebagai suatu jenis tersendiri
terutama atas penglihatan kepada aspek penyajian dialog. Hal ini lebih
memperjelas uraian di atas, bahwa drama memang tidak selalu dapat disamakan
dengan prosa dan puisi.
Dari
uraian di atas makin jelas bahwa telah berbagai usaha dan sudut pandang dari
beberapa orang ahli untuk menetapkan drama sebagai suatu bentuk karya sastra
yang khusus. Kekhusussannya ini menyebabkan ia perlu diapresiasi. Dalam hal ini
Udin (1982:38) berpendapat: "Sebuah naskah drama adalah sebuah karya sastra,
maka naskah itu dapat dilihat (ditinjau) dari segi isi dan struktur. Yang
dimaksud dengan isi ialah masalah yang diceritakan dan struktur yaitu cara
penceritaan".
Hal
yang dimaksudkan dalam kutipan di atas adalah benar adanya naskah itu dapat
ditinjau secara terpisah, sedangkan yang dimaksud dengan masalah yang
diceritakan itu adalah premis (tema). Cara penceritaan dalam pengertian di atas
disebut pemanfaatan perwatakan, alur, dan bahasa. Pemanfaatan bahasa sebagai
alat utama untuk menuangkan masalah dalam sebuah naskah drama terlihat dalam
wawankata (dialog) cerita. Brahim (1968:91) tentang hal ini berpendapat,
"...di dalam drama wawankata menduduki tempat yang terutama, dan di dalam
kata-kata yang dipergunakan inilah terletak keindahan drama sebagai hasil kesusastraan".
Memahami
konsep-konsep pikiran di atas, makin jelas bagaimana perbedaan antara drama
tulis (naskah) atau text-play dengan drama sebagai teater. Namun demikian,
supaya kedudukan apresiasi sastra drama lebih jelas di antara apresiasi drama,
ada baiknya kalau dibalik kembali sekelumit sejarah perkembangan naskah drama.
Perkembangan
Naskah Drama
Adanya
naskah dalam perkembangan drama Indonesia dimulai pasa tahun 1901 dan
berkembang sampai sekarang. Ini menjadi ciri penanda drama Indonesia modern
(memakai naskah dialog). Perkembangan ini tentu dilandasi oleh beberapa later
belakang.
Kalau
kita lihat pemikiran Rendra (1983:33), ia berpendapat bahwa adanya naskah drama
itu diawali oleh karena seni drama modern di Indonesia timbul dari golongan
elite yang tidak puas dengan komposisi seni drama rakyat dan seni drama
tradisional (dialog dalam drama hanya diimprovisasikan dan dijadikan sampiran
dalam cerita). Karena hal itu, naskah sadiwara mulai sangat dibutuhkan karena
dialog yang dalam dan otentik dianggap sebagai mutu yang dipentingkan.
Perkembangan
ini tentu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan zaman. Mungkin saja suatu
saat bersifat maju, mundur atau terombang-ambing antara "kevakuman"
dan "pergeseran bentuk". Masalah ini sempat menjadi ketimpangan para
dramawan Indonesia (baca dalam Radjib, 1982). Drama Indonesia dalam
perjalanannya untuk mencari wujud yang diinginkan, baik dari sisi penulis
naskah, pemain, atau penonton yang mengalami keterombang-ambingan menimbulkan
kesangsian.
Rendra
(1983:31-35) membicarakan masalah pengkajian kembalinya drama modern kita
kepada pentingnya naskah. Kepentingan ini dilihatnya dari sisi penyutradaraan,
dekorasi, dan kostum dalam proses mengangkat naskah itu ke pentas menjadi suatu
pementasan atau teater.
Melihat
berbagai macam perkembangan drama itu, jelaslah betapa pentingnya naskah drama.
Hal ini telah mengakar dan disepakati bersama sampai sekarang. Munir (1983:24),
sebagai generasi yang masih dianggap muda pernah juga membahas perkembangan
bentuk drama di Indonesia. Tulisannya itu membicarakan salah satu bentuk drama
di Indonesia adalah teater modern, yaitu teater yang dalam bentuk penyajiannya
didasarkan kepada naskah yang tertulis suatu karya seni dan terikat oleh hukum
dan pengertian dramaturgi modern.
Perkembangan
drama itu akhirnya sampai kepada pengaruh sastra drama mutakhir yang lebih
jelas terlihat pada dramawan Putu Wijaya. Pengaruh ini membawa suatu aliran
yaitu naskah bukanlah dimaksudkan untuk dibaca, tetapi untuk dimainkan atau
dipentaskan. Sebelum tahap itu, ia bukan apa-apa.
Kalau
demikian halnya dan kita setuju, wajarlah terjadi bahwa sastra drama Indonesia
tertinggal jauh dari kemampuan bermain para dramawannya. Dikatakan demikian
karena perkembangan sastra drama mutakhir ini merupakan hasil tiruan dari
budaya barat. Sementara bila kita lihat, menurut Lonesco Beckett dalam Sutardjo
(1983:66), Sastra Drama Barat anti plot, anti watak, memang ada, namun mereka
mengandung makna yang jelas dan mendalam sebagai sebuah karya dan bukan harus
disempurnakan diatas pentas kemudian. Naskah adalah sudah merupakan bentuk yang
satu sedangkan pementasan adalah bentuk yang lain yakni sebagai suatu seni yang
sudah kompleks.
Titik
tolak yang berdasarkan kepada tradisi ini sebenarnya benar, namun jangan
terjadi pengabaian terhadap bentuk sastra dramanya. Teater atau pementasan
bermula dari sastra. Lebih dari hanya sebagai karya sastra, drama memang lebih.
Apabila
kita meninjau relevansi antara tema naskah dengan kenyataan hidup yang dihadapi
oleh sutradara dalam mementaskan naskah, terlihat bahwa terwujudnya pementasan
nilai naskah itu secara utuh dari sudut karya sastra. Hal-hal yang semacam ini
akan melahirkan suatu penilaian baik buruk terhadap sebuah naskah drama. Naskah
yang tidak memiliki isi yang relevan dengan pengalaman penonton akan sukar
melibatkan perhatian, pikiran, dan perasaan penonton. Oleh sebab itu, peristiwa
teater tidak akan tercipta disaat pagelaran atau pementasannya.
Saini
K.M mengatakan, "... cara sama pentingnya dengan tujuan, bahwa tujuan yang
baik harus dicapai dengan cara yang baik. Inilah salah satu di antara nilai
yang menyebabkan naskah ini akan senantiasa relevan selama kita memasalkan
baik-buruk sebagai nilai". Dengan demikian, naskah-naskah itu biasanya
mengajak kita untuk bertanya : dari mana kita datang, mengapa dan untuk apa
kita ada di dunia, dan ke mana kita akan pergi. Karena pertanyaan-pertanyaan
yang tidak langsung timbul oleh naskah itu abadi, maka abadi pulalah pesona
naskah itu bagi kita.
Mengapresiasi
Drama sebagai Karya Sastra
Seperti
halnya puisi dan prosa, drama sebagai karya sastra perlu diapresiasikan lewat
pembacaan terhadap naskahnya. Pengertian apresiasi dalam drama sama dengan
apresiasi sastra lainnya, yaitu merupakan penaksiran kualitas karya sastra
serta pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan
pengalaman yang jelas, sadar, serta kritis.
Kalau
demikian halnya, layaklah drama sebagai karya sastra merupakan hal yang utama
untuk didekati, dipahami, ditelaah, dan diapresiasi. Dari pengapresiasian
naskah yang dilakukan akan diperoleh pengalaman. Pengalaman inilah yang
akhirnya kita hubungkan dengan keadaan sebenarnya di luar drama. Akhirnya
ditemukanlah suatu perubahan nilai-nilai dalam diri. Pementasan tidak lagi
diterima sebagai penentu nilai sebuah drama. Yang menentukan adalah proses
apresiasi sendiri sebagai pembaca. Dalam hal ini menurut Damono (1983:150)
adalah:
Kita
bisa saja mendapatkan pengalaman dengan hanya membaca drama; ... Dan kita juga
berhak berbicara tentang drama sebagai karya sastra. Itulah alasan mengapa
drama diedarkan dalam bentuk buku, mengapa Martin Esslin menulis tentang drama
absurd, Francis Fergusson menulis "The Human Image in Dramatic
Literature." Helen Cardner membicarakan "Murder in the Cathederal."
T.S. Elliot dalam "The Art of T.S. Elliot," dan seterusnya.
Sampainya
seseorang dalam mengapresiasikan naskah drama memerlukan suatu proses. Proses
ini membutuhkan seperangkat perlengkapan. Ini dibutuhkan bukan saja untuk
memahami maksud dan pesan pengarang, tetapi juga untuk memahami bagaimana
pengarang secara estetik menyampaikan maksud dan pesannya itu.
Berbagai
teori digunakan untuk mengapresiasikan karya sastra drama itu. Kita kenal
struktur dramatik Aristoteles. Titik pangkalnya adalah rumusan tentang karya
sastra drama yang baik biasanya memiliki alur cerita yang berbentuk piramida,
diawali dengan unsur eksposisi, dilanjutkan dengan komplikasi, memuncak pada
klimaks, menurut kembali pada resolusi, dan berakhir pada konklusi.
Teori
lain adalah yang bertitik-tolak dari tokoh utama cerita atau ada juga yang
menggunakan teori strukturalistik yang dikembangkan oleh Etienne Sourlau. Teori
ini mendekati karya sastra drama dari sisi fungsi-fungsi yang terdapat di
dalamnya. Namun demikian, karena drama adalah bagian dari seni sastra dan seni
peran maka proses apresiasinya bertolak dari intuitif. Dalam hal ini Saini K.M.
(1965:55) berpendapat:
Pada
dasarnya semua karya seni adalah pengetahuan intuitif. Makna karya seni hanya
dapat dipahami melalui pikiran, perasaan, dan khayalan sekaligus, dengan kata
lain, dengan intuisi. Namun di dalam upaya memahami makna karya seni, kegiatan
pikiran (intelek, rasio), perasaan (emosi), daya khayal (imajinasi) tidak
senantiasa seimbang. Kadang-kadang pikiran menonjol perannya, kadang-kadang perasaan,
kadang-kadang khayal. Di dalam menghadapi karya sastra drama dari gaya
realisme, misalnya, intelek kita lebih banyak bekerja dibanding dengan khayal;
di dalam jenis melodrama, perasaan cenderung lebih dipancing untuk giat oleh
sastrawannya.
Menyikapi
pendapat di atas, sebagai seni peran atau teater, sastra drama telah melalui
proses intuitif dari sutradara. Sastra drama itu telah diolah dalam bentuk
penafsiran, pemotongan cerita yang kurang menunjang, atau penambahan dialog
yang mungkin relevan dan tidak menyimpang dari ide cerita. Hal inilah yang
membedakannya dengan apresiasi sastra drama sebagai bentuk tersendiri yang
bukan untuk tujuan pementasan atau teater. Sebagai karya sastra drama
betul-betul dihadapi dalam keutuhan dan keseluruhan simbol-simbol bahasa yang
ada dalam naskah. Ia tidak bisa dihilangkan atau ditambah.
Pendekatan
dalam Mengapresiasi Sastra Drama
Berdasarkan
teori-teori yang dijelaskan sebelumnya untuk mengapresiasi sastra drama, ada
beberapa pendapat yang dapat dilakukan untuk mengapresiasi sastra drama.
Menurut Hamidy (1984:15) pendekatan tersebut dapat dilakukan dalam segi:
- Pendekatan dari segi fungsi. Hal ini biasanya dihubungkan dengan peranan yang dapat dimainkan oleh drama dalam masyarakat.
- Pendekatan derajat peristiwa. Pembahasan ini berhubungan dengan alur, yaitu dalam bentuk bagaimana derajat peristiwa seperti eksposisi, komplikasi, krisis, sampai kepada penyelesaian.
- Pendekatan terhadap tema. Dalam hal ini kita dihadapkan kepada perbandingan tiap-tiap kesatuan peristiwa sehingga sampai kepada suatu logika (kesimpulan) bagaimana citra atau ide yang hendak disampaikan.
- Pendekatan terhadap drama yang berkaitan dengan segi aliran karya sastra, misalnya realisme, naturalisme, dan ekspresionisme.
- Pendekatan dari sudut gaya. Pembahasan ini menyangkut bagaimana perkembangan sistematika bangun drama itu dengan kaitannya terhadap pantulan gaya yang hendak diperlihatkan kepada pembaca.
Lima
pendekatan di atas sebenarnya merupakan satu alternatif saja dari cara lain
atau pendekatan lain yang mungkin dapat dilakukan dalam mengapresiasi sastra
drama. Persoalan penting yang seharusnya dipahami adalah bagaimana agar
kedudukan drama sebagai apresiasi sastra seimbang dengan pembicaraan atau
apresiasi sastra lainnya. Harapan ini muncul agar drama sebagai karya sastra
tidak terlepas dari bahasa sastra Indonesia.
Tingkat-tingkat
Apresiasi Sastra Drama
Tingkat
apresiasi dalam pengertian ini dilihat dari daya tanggap, pemahaman,
pengkhayalan, dan ketrampilan. Dengan demikian menyangkut pula pengertian
tingkat kesiapan dalam menanggapi, memahami, menghayati, dan keterampilan dalam
tingkat apresiasi sastra. Menurut Mio (1991:19) tingkat-tingkat apresiasi
sastra drama, khususnya pembacaan drama dan prosa dapat dibagi atas empat,
yaitu:
- Pembaca yang telah dapat merasakan karya sastra itu sesuatu yang hidup, dengan pelaku-pelakunya yang mengagumkan. Mereka telah dapat terbawa dalam cerita atau drama yang sedang dibacanya, yang sering diiringi oleh ketawa, menangis, membenci seorang pelaku, dan sebagainya.
- Pembaca yang telah dapat melihat dalamnya perasaan atau jika mereka telah dapat mengungkapkan rahasia kepribadian para pelaku satu drama berarti selangkah lebih maju dari pembaca di atas, Pada tingkat ini pembaca drama tidak saja menikmati kejadian-kejadian dalam drama secara badaniah, tetapi lebih banyak pada apa yang terjadi dalam pikiran pelaku.
- Pembaca drama yang telah dapat membandingkan satu drama dengan yang lain dan dapat memberikan pendapatnya mengenai satu karya, juga telah dapat membaca karya yang lebih sukar dengan kenikmatan.
- Pembaca yang telah dapat melihat keindahan susunan dialog, setting simbolis, pemakaian kata-kata yang berirana yang disajikan oleh sastrawan, telah mampu memberi respons pada daya sastra yang merangsang mereka berpikir dan memberi respons pada seni yang disajikan sastrawan.
Mantap💜
ReplyDeleteMaaci
Delete