TEKS LAPORAN HASIL OBSERVASI (LHO)

18:47 Add Comment


Teks LHO itu apa yah? Mengapa harus belajar teks LHO? Simak video berikut ini!


Pantai Amal Tarakan

    Orang Tarakan pasti tahu dengan yang namanya tempat wisata Pantai Amal. Pantai di timur kota yang selalu ramai didatangi karena menjadi sarana hiburan favorit di Tarakan. Amal merupakan nama salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Tarakan Timur, Provinsi Kalimantan Utara yang terkenal sebagai salah satu sumber minyak terbesar di Indonesia.

    Pantai Amal adalah salah satu wisata pantai di kota Tarakan. Pantai Amal merupakan pemukiman warga yang berada di pesisir timur kota Tarakan. Kata 'Amal' sendiri merupakan akronim dari Area Militer Angkatan Laut. Mengulas sejarah Kota Tarakan pada zaman penjajahan merupakan tempat pendaratan pertama tentara Jepang pada tahun 1941 tepatnya di pantai Amal mengingat Pulau Tarakan adalah Pulau kecil yang di kelilingi laut  sehingga hampir semua wilayah pesisir menjadi kawasan armada angkatan laut.

    Pantai Amal, terdiri dari 2 buah pantai, yaitu pantai amal baru dan pantai amal lama. Tidak ada yang berbeda dari kedua pantai tersebut karena lokasinya yang sama hanya karena wilayah pesisir pantai yang panjang sehingga dibedakan dalam penamaannya. Pantai Amal mempunyai ombak yang tidak terlalu tinggi dengan pasirnya yang berwarna cokelat. Saat ini, selain menjadi tempat mencari ikan dan kapah bagi nelayan, Pantai Amal juga dijadikan sebagai tempat budidaya rumput laut. Masyarakat daerah pesisir memanfaatkan hal tersebut sebagai mata pencaharian. Selain itu, mereka juga menjadikan rumah mereka sebagai tempat bersantai bagi pengunjung pantai ketika berwisata ke pantai Amal didesain sedemikian rupa agar nyaman bagi pengunjung. Mereka juga menyediakan berbagai macam kuliner dan jajanan untuk dijual kepada pengunjung.

    Daya tarik dari Pantai Amal adalah keindahan dan kuliner tradisional yang ditawarkan oleh masyarakat pesisir. Makanan hasil laut dan tradisional seperti kapah, udang, gorengan, es rumput laut, buras, dsb dapat dinikmati sambil menikmati indahnya pesona Pantai Amal.

Apakah video dan teks tersebut termasuk teks Laporan Hasil Observasi (LHO) ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut marilah kita simak penjelasan berikut ini! 

A. Pengertian, Ciri-ciri dan Fungsi Teks LHO 

Laporan Hasil Observasi adalah teks yang berisi tentang laporan dari sebuah objek dengan tujuan menambah pengetahuan pembaca. LHO juga harus menjelaskan tentang klasifikasi dari objek yang dilaporkan. Jenis teks LHO adalah teks nonfiksi. Ciri-ciri teks LHO:

1. Berbentuk paragraf dan tiap paragraf terdapat kalimat utama dan kalimat penjelas baik berbentuk deduktif, induktif maupun campuran.

2. Tujuannya mengklasifikasikan sebuah objek dan menambah pengetahuan pembaca.

3. Isi dalam teks LHO berupa fakta.

4. Teks LHO bersifat objektif, faktual dan universal

Mengapa teks di atas dapat dikatakan sebuah teks LHO ? Jika dilihat dari ciri-ciri dan fungsi teks tersebut semuanya mengacu pada ketentuan teks LHO. Jadi dapat disimpulkan bahwa teks tersebut adalah teks LHO.

B. Pemodelan Teks (Struktur) LHO

Secara umum, struktur teks LHO ada 2, yaitu; 

1. Pernyataan umum / Klasifikasi

2. Aspek-aspek yang dilaporkan

Pernyataan umum pada teks LHO dapat berisi pengertian/definisi dari objek, klasifikasi/pengelompokkan dari objek sehingga terdapat batasan dalam penjelasannya.

Aspek-aspek yang dilaporkan pada teks LHO berupa deskripsi bagian dan deskripsi manfaat dari objek. Tidak ada kesimpulan dalam teks LHO..

Simaklah video berikut tentang struktur teks LHO






Materi Drama

00:25 2 Comments
Drama merupakan salah satu bentuk karya sastra. Dalam drama, penulis ingin menyampaikan pesan melalui akting dan dialog. Biasanya drama menampilkan  sesuatu hal yang biasa terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Sehingga para penonton diajak untuk seolah-olah ikut menyaksikan dan merasakan kehidupan dan kejadian dalam masyarakat.
Drama adalah karangan yang menggambarkan kehidupan dan watak manusia dalam bertingkah laku yang dipentaskan dalam beberapa babak. Seni drama sering disebut seni teater.

Unsur-unsur drama
  •  Tema adalah ide pokok atau gagasan utama sebuah cerita drama
  • Alur yaitu jalan cerita dari sebuah pertunjukkan drama mulai babak pertama hingga babak terakhir
  • Tokoh drama atau pelaku drama terdiri dari tokoh utama dan tokoh pembantu. Tokoh utama atau peran utama disebut primadona sedangkan peran pembantu disebut figuran
  • Watak adalah perilaku yang diperankan oleh tokoh drama. Watak protagonis adalah watak (periku) baik yang diperankan oleh tokoh drama, contohnya : penyabar, kasih sayang, santun, pemberani, pembela yang lemah, baik hati dan sebagainya. Sedangkan watak antagonis adalah watak (perilaku) jahat yang diperankan oleh tokoh drama, contohnya : sifat iri dan dengki, kejam, penindas dan sebagainya
  • Latar atau setting adalah gambaran tempat, waktu dan situasi peristiwa dalam cerita   drama
  • Amanat drama adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada penonton. Amanat drama atau pesan disampaikan melalui peran para tokoh drama.
·         Drama merupakan salah satu bentuk karya sastra. Dalam drama, penulis ingin menyampaikan pesan melalui akting dan dialog. Biasanya drama menampilkan  sesuatu hal yang biasa terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Sehingga para penonton diajak untuk seolah-olah ikut menyaksikan dan merasakan kehidupan dan kejadian dalam masyarakat.
·          
·          
·         Berikut ini adalah pengertian dan definisi drama:
·          
·         # ERWAN JUHARA
·         Drama merupakan jenis karya sastra yang dibangun oleh unsur intrinsik, satu kesatuan karya itu membentuk kesatuan (totalitas)
·          
·         # PRIYONO MANGUNREJO
·         Drama merupakan salah satu karya sastra yang lebih menonjolkan unsur dialog
·          
·         # A. ISKAK & YUSTINAH
·         Drama adalah karangan yang berbentuk dialog / percakapan antara para pemainnya
·          
·         # SRI SUTARNI & SUKARDI
·         Drama merupakan cerita tentang kehidupan manusia yang diperankan diatas panggung atau dipentaskan
·          
·         # WAHONO & RUSMIYANTO
·         Drama adalah suatu karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menampilkan pertikaian / konflik dan emosi lewat adegan dan dialog
·          
·         # YAKOB SUMARJO & SAINI
·         Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog - dialog para tokohnya
·          
·         # TIM MATRIX MEDIA LITERATA
·         Drama merupakan bentuk kisahan yang menggambarkan kehidupan dan watak manusia melalui tingkah laku (akting) yang dipentaskan
·          
·         # SENI HANDAYANI & WILDAN
·         Drama adalah bentuk karangan yang berpijak pada dua cabang kesenian, yakni seni sastra dan seni pentas sehingga drama dibagi dua, yaitu drama dalam bentuk naskah tertulis dan drama yang dipentaskan
·          
·         # ANNE CIVARDI
·         Drama adalah sebuah kisah yang diceritakan lewat kata-kata dan gerakan
Drama sebagai karya sastra tidak terlepas dari pembicaraan di atas. Dalam drama, masalah kehidupan dan kemanusiaan yang dikemukakan biasanya tidaklah terlepas dari aspek-aspek sosial masyarakat dalam hubungan manusia dengan manusia lainnya. Drama juga menyajikan aspek-aspek perilaku manusia terhadap jenisnya dalam kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan. Misalnya masalah perasaan sayang, cinta, benci, dendam, ketulusan, kesetiaan, kesucian, dan lain-lain.
Menurut Semi (1984:145), "drama hanya menyangkut masalah manusia dan kemanusiaan semata. Hal itu disebabkan drama dilakonkan oleh manusia. Drama tidak dapat mempertunjukkan tentang peristiwa kehidupan singa dihutan belantara, tentang malaikat di sorga, atau kehidupan dibawah permukaan laut".
Karena drama hanya menyangkut masalah manusia dan kemanusiaan semata, maka drama pun merupakan alat komunikasi sosial dalam masyarakat. Melalui drama, manusia dapat menemukan masalah-masalah yang terjadi dilingkungannya kemudian menjadikannya sebagai bahan pertimbangan, perbandingan, atau pengetahuan untuk berbuat sesuatu secara lebih baik. Hal ini merupakan salah satu fungsi dan peranan drama, di samping ada juga masyarakat tertentu yang menganggap drama sebagai milik sekelompok masyarakat tertentu yang memahami arti suatu karya sastra. Sebenarnya tidaklah demikian. Karya sastra dalam bentuk apapun hendaknya dirasakan sebagai milik masyarakat. Ia memerlukan interpretasi dan apresiasi sehingga nilai-nilai kehidupan yang ada didalamnya dapat dipahami dan dipedomani.
Konsep Dasar tentang Drama
Berbicara masalah drama, kita akan dihadapkan kepada dua pemikiran. Pada satu segi kita teringat kepada jenis pertunjukan yang mengasyikkan atau menjemukan. Pada segi lain kita berpikir tentang sebuah naskah yang dikarang atau ditulis dalam bentuk dialog-dialog (merupakan karya sastra).
Kerangka pemikiran kita yang seperti ini dapat dijelaskan dalam suatu konsep pikiran yang jelas dan utuh sehingga kita dapat memahami mana yang dikatakan drama sebagai pemikiran yang pertama dan mana yang pemikiran kedua. Maksudnya di sini adalah, kita sanggup membedakan antara kedua pemikiran di atas dan dapat melihat hubungan antara keduanya.
Menurut Tarigan (1984:73), ada dua pengertian drama, yaitu: (1) drama sebagai text play atau reportair, dan (2) drama sebagai theatre atau performance. Hubungan keduanya sangat erat. Dengan kata lain: setiap lakon atau pertunjukan harus mempunyai naskah yang akan dipentaskan. Sebaliknya tidaklah otomatis setiap naskah merupakan teater, sebab ada saja kemungkinan naskah yang seperti itu hanyalah berfungsi sebagai bahan bacaan saja, bukan untuk pertunjukan. Jadi, ada naskah yang dapat dipentaskan dan ada yang tidak, misalnya drama "Awal dan Mira" karya Utuy Tatang Sontani. Drama ini sulit untuk dipentaskan tetapi enak untuk dibaca (lihat Rosidi, 1982:114).
Memahami penjelasan diatas, dapat diambil suatu perbedaan nyata dari keduanya. Perbedaan itu adalah:
  1. Drama sebagai text-play atau naskah adalah hasil sastra 'milik pribadi', yaitu milik penulis drama tersebut, sedangkan drama sebagai teater adalah seni kolektif.
  2. Text-play masih memerlukan pembaca soliter (pembaca yang mempunyai perasaan bersatu), sedangkan teater memerlukan penonton kolektif dan penonton ini sangat penting.
  3. Text-play masih memerlukan penggarapan yang baik dan teliti baru dapat dipanggungkan sebagai teater dan ia menjadi seni kolektif.
  4. Text-play adalah bacaan, sedangkan teater adalah pertunjukan atau tontonan.
Berdasarkan hal di atas, antara keduanya harus dibedakan secara tegas, walaupun pada umumnya penulisan naskah drama itu bertujuan untuk dipentaskan atau dilakonkan. Teori-teori dari beberapa orang ahlipun memperlihatkan bahwa pembahasan aspek-aspek drama dalam dua pengertian drama di atas berbeda.
Aspek yang dibahas atau materi utama pada text-play adalah: a) premis (tema), b) watak, dan c) plot, sedangkan pada pementasan adalah: a) naskah, b) pelaku, c) pentas, d) perlengkapan pentas, e) tata busana (pakaian), f) tata rias, g) cahaya, h) dekorasi, dan i) musik (bandingkan dengan Syam, 1984:17).
Rumusan tentang perbedaan kedua pemikiran di atas dapat juga dibandingkan dengan pendapat Martoko (1984:158) yaitu dalam pembatasannya tentang pengertian pementasan. Ia menyatakan "pementasan itu merupakan sebuah sintesa dan mengimbau pada beberapa indera sekaligus".
Drama sebagai Karya Sastra
Berawal dari pemikiran bahwa sastra adalah usaha untuk memperlihatkan makna kehidupan, bukan sebuah imitasi (peniruan) tetapi sebuah ciptaan dan kreasi, karena itu sastra dapat mengantarkan kita kepada pengenalan diri dan kehidupan secara mendalam sehingga akhirnya kita menemukan norma-norma dan pemikiran yang terjadi dalam masyarakat.
Beberapa orang ahli sastra telah membicarakan masalah di atas dalam usaha memberikan batasan-batasan hal-hal mana yang termasuk ke dalam bentuk ciptasastra. Esten (1978:11) membedakan empat bentuk ciptasastra yaitu: puisi, cerita rekaan (fiksi), essei dan kritik, dan drama.
Drama sebagai satu di antara bentuk ciptasastra mempunyai beberapa kesamaan dengan bentuk-bentuk yang lain itu. Namun, pada satu segi tetap ada perbedaan yang nyata. Brahim (1965:55) mengatakan "Sebagai hasil seni sastra, maka drama pun mempunyai sifat-sifat yang bersamaan dengan cabang-cabang kesusastran yang lain; puisi dan prosa".
Menurut beliau ada empat unsur yang membangun penciptaan naskah drama dengan bantuan penggunaan dialog. Ada pun unsur-unsur tersebut adalah : unsur budi, (intellectual element), unsur perasaan (emotional element), unsur imajinasi (element of imagination), dan unsur gaya (the technical element or the element of composition and style). Penggunaan dialog dalam drama berfungsi untuk membedakannya dari bentuk ciptasastra lainnya, walaupun ada ciptasastra yang mengandung dialog. Dalam hal ini, drama adalah merupakan dialog yang mengandung cerita, sedangkan untuk cerpen atau novel adalah cerita yang mengandung dialog.
Sebagai karya sastra, Rene Wellek dan Austin Warren dalam Hamidy (1984:9) mengelompokkan dan menggolongkan drama ke dalam karya sastra imajinatif di samping fiksi dan puisi. Drama dipandang sebagai suatu jenis tersendiri terutama atas penglihatan kepada aspek penyajian dialog. Hal ini lebih memperjelas uraian di atas, bahwa drama memang tidak selalu dapat disamakan dengan prosa dan  puisi.
Dari uraian di atas makin jelas bahwa telah berbagai usaha dan sudut pandang dari beberapa orang ahli untuk menetapkan drama sebagai suatu bentuk karya sastra yang khusus. Kekhusussannya ini menyebabkan ia perlu diapresiasi. Dalam hal ini Udin (1982:38) berpendapat: "Sebuah naskah drama adalah sebuah karya sastra, maka naskah itu dapat dilihat (ditinjau) dari segi isi dan struktur. Yang dimaksud dengan isi ialah masalah yang diceritakan dan struktur yaitu cara penceritaan".
Hal yang dimaksudkan dalam kutipan di atas adalah benar adanya naskah itu dapat ditinjau secara terpisah, sedangkan yang dimaksud dengan masalah yang diceritakan itu adalah premis (tema). Cara penceritaan dalam pengertian di atas disebut pemanfaatan perwatakan, alur, dan bahasa. Pemanfaatan bahasa sebagai alat utama untuk menuangkan masalah dalam sebuah naskah drama terlihat dalam wawankata (dialog) cerita. Brahim (1968:91) tentang hal ini berpendapat, "...di dalam drama wawankata menduduki tempat yang terutama, dan di dalam kata-kata yang dipergunakan inilah terletak keindahan drama sebagai hasil kesusastraan".
Memahami konsep-konsep pikiran di atas, makin jelas bagaimana perbedaan antara drama tulis (naskah) atau text-play dengan drama sebagai teater. Namun demikian, supaya kedudukan apresiasi sastra drama lebih jelas di antara apresiasi drama, ada baiknya kalau dibalik kembali sekelumit sejarah perkembangan naskah drama.
Perkembangan Naskah Drama
Adanya naskah dalam perkembangan drama Indonesia dimulai pasa tahun 1901 dan berkembang sampai sekarang. Ini menjadi ciri penanda drama Indonesia modern (memakai naskah dialog). Perkembangan ini tentu dilandasi oleh beberapa later belakang.
Kalau kita lihat pemikiran Rendra (1983:33), ia berpendapat bahwa adanya naskah drama itu diawali oleh karena seni drama modern di Indonesia timbul dari golongan elite yang tidak puas dengan komposisi seni drama rakyat dan seni drama tradisional (dialog dalam drama hanya diimprovisasikan dan dijadikan sampiran dalam cerita). Karena hal itu, naskah sadiwara mulai sangat dibutuhkan karena dialog yang dalam dan otentik dianggap sebagai mutu yang dipentingkan.
Perkembangan ini tentu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan zaman. Mungkin saja suatu saat bersifat maju, mundur atau terombang-ambing antara "kevakuman" dan "pergeseran bentuk". Masalah ini sempat menjadi ketimpangan para dramawan Indonesia (baca dalam Radjib, 1982). Drama Indonesia dalam perjalanannya untuk mencari wujud yang diinginkan, baik dari sisi penulis naskah, pemain, atau penonton yang mengalami keterombang-ambingan menimbulkan kesangsian.
Rendra (1983:31-35) membicarakan masalah pengkajian kembalinya drama modern kita kepada pentingnya naskah. Kepentingan ini dilihatnya dari sisi penyutradaraan, dekorasi, dan kostum dalam proses mengangkat naskah itu ke pentas menjadi suatu pementasan atau teater.
Melihat berbagai macam perkembangan drama itu, jelaslah betapa pentingnya naskah drama. Hal ini telah mengakar dan disepakati bersama sampai sekarang. Munir (1983:24), sebagai generasi yang masih dianggap muda pernah juga membahas perkembangan bentuk drama di Indonesia. Tulisannya itu membicarakan salah satu bentuk drama di Indonesia adalah teater modern, yaitu teater yang dalam bentuk penyajiannya didasarkan kepada naskah yang tertulis suatu karya seni dan terikat oleh hukum dan pengertian dramaturgi modern.
Perkembangan drama itu akhirnya sampai kepada pengaruh sastra drama mutakhir yang lebih jelas terlihat pada dramawan Putu Wijaya. Pengaruh ini membawa suatu aliran yaitu naskah bukanlah dimaksudkan untuk dibaca, tetapi untuk dimainkan atau dipentaskan. Sebelum tahap itu, ia bukan apa-apa.
Kalau demikian halnya dan kita setuju, wajarlah terjadi bahwa sastra drama Indonesia tertinggal jauh dari kemampuan bermain para dramawannya. Dikatakan demikian karena perkembangan sastra drama mutakhir ini merupakan hasil tiruan dari budaya barat. Sementara bila kita lihat, menurut Lonesco Beckett dalam Sutardjo (1983:66), Sastra Drama Barat anti plot, anti watak, memang ada, namun mereka mengandung makna yang jelas dan mendalam sebagai sebuah karya dan bukan harus disempurnakan diatas pentas kemudian. Naskah adalah sudah merupakan bentuk yang satu sedangkan pementasan adalah bentuk yang lain yakni sebagai suatu seni yang sudah kompleks.
Titik tolak yang berdasarkan kepada tradisi ini sebenarnya benar, namun jangan terjadi pengabaian terhadap bentuk sastra dramanya. Teater atau pementasan bermula dari sastra. Lebih dari hanya sebagai karya sastra, drama memang lebih.
Apabila kita meninjau relevansi antara tema naskah dengan kenyataan hidup yang dihadapi oleh sutradara dalam mementaskan naskah, terlihat bahwa terwujudnya pementasan nilai naskah itu secara utuh dari sudut karya sastra. Hal-hal yang semacam ini akan melahirkan suatu penilaian baik buruk terhadap sebuah naskah drama. Naskah yang tidak memiliki isi yang relevan dengan pengalaman penonton akan sukar melibatkan perhatian, pikiran, dan perasaan penonton. Oleh sebab itu, peristiwa teater tidak akan tercipta disaat pagelaran atau pementasannya.
Saini K.M mengatakan, "... cara sama pentingnya dengan tujuan, bahwa tujuan yang baik harus dicapai dengan cara yang baik. Inilah salah satu di antara nilai yang menyebabkan naskah ini akan senantiasa relevan selama kita memasalkan baik-buruk sebagai nilai". Dengan demikian, naskah-naskah itu biasanya mengajak kita untuk bertanya : dari mana kita datang, mengapa dan untuk apa kita ada di dunia, dan ke mana kita akan pergi. Karena pertanyaan-pertanyaan yang tidak langsung timbul oleh naskah itu abadi, maka abadi pulalah pesona naskah itu bagi kita.
Mengapresiasi Drama sebagai Karya Sastra
Seperti halnya puisi dan prosa, drama sebagai karya sastra perlu diapresiasikan lewat pembacaan terhadap naskahnya. Pengertian apresiasi dalam drama sama dengan apresiasi sastra lainnya, yaitu merupakan penaksiran kualitas karya sastra serta pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang jelas, sadar, serta kritis.
Kalau demikian halnya, layaklah drama sebagai karya sastra merupakan hal yang utama untuk didekati, dipahami, ditelaah, dan diapresiasi. Dari pengapresiasian naskah yang dilakukan akan diperoleh pengalaman. Pengalaman inilah yang akhirnya kita hubungkan dengan keadaan sebenarnya di luar drama. Akhirnya ditemukanlah suatu perubahan nilai-nilai dalam diri. Pementasan tidak lagi diterima sebagai penentu nilai sebuah drama. Yang menentukan adalah proses apresiasi sendiri sebagai pembaca. Dalam hal ini menurut Damono (1983:150) adalah:
Kita bisa saja mendapatkan pengalaman dengan hanya membaca drama; ... Dan kita juga berhak berbicara tentang drama sebagai karya sastra. Itulah alasan mengapa drama diedarkan dalam bentuk buku, mengapa Martin Esslin menulis tentang drama absurd, Francis Fergusson menulis "The Human Image in Dramatic Literature." Helen Cardner membicarakan "Murder in the Cathederal." T.S. Elliot dalam "The Art of T.S. Elliot," dan seterusnya.
Sampainya seseorang dalam mengapresiasikan naskah drama memerlukan suatu proses. Proses ini membutuhkan seperangkat perlengkapan. Ini dibutuhkan bukan saja untuk memahami maksud dan pesan pengarang, tetapi juga untuk memahami bagaimana pengarang secara estetik menyampaikan maksud dan pesannya itu.
Berbagai teori digunakan untuk mengapresiasikan karya sastra drama itu. Kita kenal struktur dramatik Aristoteles. Titik pangkalnya adalah rumusan tentang karya sastra drama yang baik biasanya memiliki alur cerita yang berbentuk piramida, diawali dengan unsur eksposisi, dilanjutkan dengan komplikasi, memuncak pada klimaks, menurut kembali pada resolusi, dan berakhir pada konklusi.
Teori lain adalah yang bertitik-tolak dari tokoh utama cerita atau ada juga yang menggunakan teori strukturalistik yang dikembangkan oleh Etienne Sourlau. Teori ini mendekati karya sastra drama dari sisi fungsi-fungsi yang terdapat di dalamnya. Namun demikian, karena drama adalah bagian dari seni sastra dan seni peran maka proses apresiasinya bertolak dari intuitif. Dalam hal ini Saini K.M. (1965:55) berpendapat:
Pada dasarnya semua karya seni adalah pengetahuan intuitif. Makna karya seni hanya dapat dipahami melalui pikiran, perasaan, dan khayalan sekaligus, dengan kata lain, dengan intuisi. Namun di dalam upaya memahami makna karya seni, kegiatan pikiran (intelek, rasio), perasaan (emosi), daya khayal (imajinasi) tidak senantiasa seimbang. Kadang-kadang pikiran menonjol perannya, kadang-kadang perasaan, kadang-kadang khayal. Di dalam menghadapi karya sastra drama dari gaya realisme, misalnya, intelek kita lebih banyak bekerja dibanding dengan khayal; di dalam jenis melodrama, perasaan cenderung lebih dipancing untuk giat oleh sastrawannya.
Menyikapi pendapat di atas, sebagai seni peran atau teater, sastra drama telah melalui proses intuitif dari sutradara. Sastra drama itu telah diolah dalam bentuk penafsiran, pemotongan cerita yang kurang menunjang, atau penambahan dialog yang mungkin relevan dan tidak menyimpang dari ide cerita. Hal inilah yang membedakannya dengan apresiasi sastra drama sebagai bentuk tersendiri yang bukan untuk tujuan pementasan atau teater. Sebagai karya sastra drama betul-betul dihadapi dalam keutuhan dan keseluruhan simbol-simbol bahasa yang ada dalam naskah. Ia tidak bisa dihilangkan atau ditambah.
Pendekatan dalam Mengapresiasi Sastra Drama
Berdasarkan teori-teori yang dijelaskan sebelumnya untuk mengapresiasi sastra drama, ada beberapa pendapat yang dapat dilakukan untuk mengapresiasi sastra drama. Menurut Hamidy (1984:15) pendekatan tersebut dapat dilakukan dalam segi:
  1. Pendekatan dari segi fungsi. Hal ini biasanya dihubungkan dengan peranan yang dapat dimainkan oleh drama dalam masyarakat.
  2. Pendekatan derajat peristiwa. Pembahasan ini berhubungan dengan alur, yaitu dalam bentuk bagaimana derajat peristiwa seperti eksposisi, komplikasi, krisis, sampai kepada penyelesaian.
  3. Pendekatan terhadap tema. Dalam hal ini kita dihadapkan kepada perbandingan tiap-tiap kesatuan peristiwa sehingga sampai kepada suatu logika (kesimpulan) bagaimana citra atau ide yang hendak disampaikan.
  4. Pendekatan terhadap drama yang berkaitan dengan segi aliran karya sastra, misalnya realisme, naturalisme, dan ekspresionisme.
  5. Pendekatan dari sudut gaya. Pembahasan ini menyangkut bagaimana perkembangan sistematika bangun drama itu dengan kaitannya terhadap pantulan gaya yang hendak diperlihatkan kepada pembaca.
Lima pendekatan di atas sebenarnya merupakan satu alternatif saja dari cara lain atau pendekatan lain yang mungkin dapat dilakukan dalam mengapresiasi sastra drama. Persoalan penting yang seharusnya dipahami adalah bagaimana agar kedudukan drama sebagai apresiasi sastra seimbang dengan pembicaraan atau apresiasi sastra lainnya. Harapan ini muncul agar drama sebagai karya sastra tidak terlepas dari bahasa sastra Indonesia.
Tingkat-tingkat Apresiasi Sastra Drama
Tingkat apresiasi dalam pengertian ini dilihat dari daya tanggap, pemahaman, pengkhayalan, dan ketrampilan. Dengan demikian menyangkut pula pengertian tingkat kesiapan dalam menanggapi, memahami, menghayati, dan keterampilan dalam tingkat apresiasi sastra. Menurut Mio (1991:19) tingkat-tingkat apresiasi sastra drama, khususnya pembacaan drama dan prosa dapat dibagi atas empat, yaitu:
  1. Pembaca yang telah dapat merasakan karya sastra itu sesuatu yang hidup, dengan pelaku-pelakunya yang mengagumkan. Mereka telah dapat terbawa dalam cerita atau drama yang sedang dibacanya, yang sering diiringi oleh ketawa, menangis, membenci seorang pelaku, dan sebagainya.
  2. Pembaca yang telah dapat melihat dalamnya perasaan atau jika mereka telah dapat mengungkapkan rahasia kepribadian para pelaku satu drama berarti selangkah lebih maju dari pembaca di atas, Pada tingkat ini pembaca drama tidak saja menikmati kejadian-kejadian dalam drama secara badaniah, tetapi lebih banyak pada apa yang terjadi dalam pikiran pelaku.
  3. Pembaca drama yang telah dapat membandingkan satu drama dengan yang lain dan dapat memberikan pendapatnya mengenai satu karya, juga telah dapat membaca karya yang lebih sukar dengan kenikmatan.
  4. Pembaca yang telah dapat melihat keindahan susunan dialog, setting simbolis, pemakaian kata-kata yang berirana yang disajikan oleh sastrawan, telah mampu memberi respons pada daya sastra yang merangsang mereka berpikir dan memberi respons pada seni yang disajikan sastrawan.